Rabu, 17 Agustus 2011

Pak Anwar

Pak Anwar, kepala sekolah sebuah SMA swasta di empat aku menimba ilmu di Kota S, rasanya sangat pantas mendapat julukan "Si Kucing Garong". Betapa tidak, pria berusia 55 tahun itu, meski memiliki istri yang menurutku cukup cantik dan terpandang karena memiliki jabatan lumayan tinggi di sebuah instansi, ia masih gemar menyalurkan hasrat seksnya kepada wanita lain. Dan anehnya, wanita yang menjadi pelampiasan nafsu bejatnya adalah Bu Marfuah, istri almarhum tukang kebun yang juga pengelola kantin sekolahku.

Gara-gara aku sempat memergoki dan menangkap basah kelakuan menyimpangnya, Pak Anwar kujadikan sumber keuangan sampingan. Dan yang lebih konyol, di samping aku jadi tukang peras terhadap kepala sekolahku sendiri, kelakuan "Kucing Garong" Pak Anwar juga menitis padaku. Ikut memangsa tubuh Bu Marfuah yang usianya notabene lebih tua dibanding ibuku. Kisah skandal yang sepertinya tidak masuk akal namun benar-benar terjadi dalam hidupku dan masih kujalani hingga sekarang inilah yang hendak kuungkapkan dalam cerita ini.

Kisahnya berawal ketika suatu malam aku dibuat kelabakan. Kakakku, Astri, geger mencari-cari laptopnya yang hilang dari tempatnya tersimpan di kamar. Aku yang memang telah meminjamnya tanpa seijin dia menjadi tak kalah panik. Sebabnya laptop itu tertinggal di kantin sekolah, tepatnya di kamar Bu Marfuah sang pengelola kantin setelah dipakai nonton film bokep bareng teman-teman saat istirahat sekolah tadi pagi.

Aku benar-benar ceroboh dan kena batunya kali ini, pikirku membathin. Kulirik jam di dinding kamar, sudah menunjukkan pukul 8 malam lebih sedikit. Aku harus mengambilnya malam ini juga. Kalau tidak, pasti bakal ketahuan kalau aku yang telah mengambilnya tanpa ijin. Diam-diam kuambil sepeda motor dan langsung kabur menuju lokasi sekolahku.

Aku dan kelompok teman-temanku memang sangat akrab dengan Bu Marfuah. Mungkin karena kami tak pernah absen nongkrong di kantinnya tiap jam istirahat sekolah. Dia juga tidak keberatan bila aku dan teman-temanku masuk ke kamarnya untuk nonton televisi atau ramai-ramai nonton film bokep. "Kencing saja belum bisa lurus sudah ngelihat film saru (jorok) ih," paling komentar seperti itu yang keluar dari mulutnya saat memergoki kami tengah mengerubuti laptop memutar film mesum.

Bahkan belakangan kami suka memanggil Bu Marfuah dengan julukan Bu Merry bukan Bu Kantin seperti selama ini. Itu terjadi setelah di satu kesempatan kami sama menonton film BF yang menggambarkan adegan incest seorang anak laki-laki menyetubuhi ibunya. Dalam film itu, wanita pemerannya bernama Merry hingga nama itu diabadikan teman-teman untuk memangganti nama Bu Marfuah.

Konyol juga sih memang, karena wajah Nyonya Merry di film BF sama sekali nggak mirip dengan Bu Marfuah. Meski lumayan cantik, wajah Bu Marfuah khas wajah wanita Jawa dan kulitnya agak gelap. Tapi untuk potongan dan bentuk tubuh, sosok Bu Marfuah yang tinggi besar memang ada kemiripan. Bahkan, aku memang belum membuktikan karena belum melihatnya, bisa jadi bodinya nggak kalah seksi dengan Nyonya Merry di film BF.

Aku dan teman-teman suka bisik-bisik membicarakan tetek Bu Kantin yang memang gede. Bahkan diam-diam aku suka mencuri pandang ke busungan buah dadanya yang agak terbuka saat ia memakai baju yang belahan di bagian dadanya agak terbuka. Bahkan Bondan, temanku yang dikenal paling badung di sekolah, pernah sengaja tetap berdiri di pintu kamar Bu Marfuah yang sempat saat wanita itu hendak lewat. Akibatnya tubuh Bondan dan Bu Marfuah menjadi sangat rapat dan saling berdesakan. "Sudah emak-emak tapi toket Bu Merry sangat mantap bro," kata Bondan setelah itu.

Bondan mengaku, tetek Bu Marfuah yang menyentuh lengannya terasa hangat dan empuk. Setelah melihat adegan seks di film BF seorang ibu ngentot dengan anaknya, kalau lagi horny diam-diam aku suka membayangkan Bu Kantin. Membayangkan nikmatnya meremasi susunya yang gede. Juga membayangkan ngentot dengan wanita berusia 52, seperti yang dilakukan seorang bocah belasan tahun bersetubuh dengan Nyonya Merry.

Sejak kematian Pak Munib, mantan suaminya yang bekerja sebagai tukang kebun dan penjaga sekolah dua tahun lalu, Bu Marfuah tetap menjadi pengelola kantin dan tinggal di bangunan belakang sekolah. Posisinya sebagai pengelola kantin memang sempat nyaris tergusur gara-gara
ada pihak luar yang mengajukan diri ke pihak yayasan. Namun entah bagaimana ceritanya hingga kini ibu dari satu anak dan tiga orang cucu yang konon transmigrasi ke luar Jawa itu tetap diperkenankan menempati rumah dinas penjaga sekolah dan mengelola kantin. Bahkan penjaga
sekolah yang baru tidak mendapat jatah rumah dinas dan dibebaskan jaga malam hari.

Saat sampai di sekolah, seperti yang kuduga, pintu gerbang depan sekolah. Satu-satunya jalan masuk lain adalah lewat pintu belakang yang sengaja dibuat untuk akses keluar masuk Bu Marfuah ke dalam kompleks sekolah bila sudah tidak ada kegiatan belajar. Tapi apa mungkin pintunya tidak dikunci bila Bu Marfuah sudah di dalam rumah? Pikirku membathin.

Untung lokasi sekolah relatif jauh dengan pemukiman penduduk. Aku menjadi leluasa menuju ke tembok pagar bagian bangunan sekolah yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Setelah memarkir motor di tempat yang kuanggap aman, kudekati pintu belakang. Dugaanku tidak meleset, pintu belakang pun tertutup rapat dan tergembok dari dalam. Mustahil kalau aku harus
berteriak-teriak memanggil Bu Marfuah dari luar pagar. Bisa-bisa malah dianggap maling atau orang yang hendak berbuat jahat.

Di tengah kekalutan membayangkan sikap kakaku yang tengah kehilangan laptop, kulihat setumpuk lonjoran bambu di dekat pematang. Mungkin milik petani sayuran yang hendak membuat pagar pagar untuk tanamannya. Aku menemukan akal. Ada pohon mangga di dalam lingkungan sekolah yang dahannya menjorok ke luar di atas pagar tembok. Maka kupakai beberapa batang bambu untuk panjatan naik ke atas tembok. Meski agak sulit akhirnya aku berhasil naik dan masuk ke lingkungan sekolah melalui pohon mangga.

Aku langsung menuju ke lokasi kantin yang juga menjadi tempat tinggal Bu Marfuah. Namun langkahku tercekat. Di pelataran halaman kantin terlihat sebuah sepeda onthel kuno terparkir. Padahal aku tahu Bu Kantin sama sekali tidak memiliki kendaraan. Karena curiga, kudekati lokasi sepeda terparkir dengan berjalan mengendap.

Ternyata sepeda onthel milik Pak Anwar. Aku bisa mengenali setelah melihat dalam jarak cukup dekat. Dan aku yakin sepeda itu miliknya setelah melihat adanya aksesoris bel berbentuk bulatan besar yang terpasang di stangnya. Pak Anwar yang merupakan salah satu aktivis klub sepeda onthel di kotaku, selalu membanggakan bentuk bel sepeda kuno yang dimilikinya.

Ada apa apa Pak Anwar malam-malam ada di rumah Bu Marfuah? Tetapi lampu di ruang tamu Bu Kantin terlihat tidak menyala. Membuatku semakin penasaran. Sebab selain ruang tamu, tidak ada lagi tempat yang bisa dipakai untuk menerima tamu. Kecuali tamunya masuk ke kamar Bu Marfuah. Menyadari hal itu rasa ingin tahuku semakin menjadi.

Aku yang kenal betul seluk-beluk kantin dan tempat tinggal Bu Marfuah langsung menyelinap ke dalam ruang kantin. Akses masuk ke ruang kantin tidak berpintu dan letaknya bersebelahan dengan kamar Bu Marfuah. Bila di dalam kamar ada orang berbincang, pasti terdengar dari luar karena dinding bangunan rumah penjaga sekolah dan kantin terbuat dari papan yang karena faktor usia sudah banyak berlubang.

"Tadi katanya cuma mau dipijat. Kok Bapak tangannya gerayangan begini sih,"

Suara Bu Marfuah terdengar dari balik dinding kamarnya. Aku jadi makin penasaran. Apa mungkin Pak Anwar yang tengah menggerayangi Bu Marfuah? Tapi sepeda onthel yang terparkir di halaman rumah penjaga sekolah memang milik dia. Perlahan dan tanpa bersuara aku mendekati
dinding kamar. Setelah kutemukan lubang cukup besar yang memungkinkan mengintip ke dalam, aku langsung mengintipnya.

Dugaanku tidak meleset. Meskipun posisinya tengkurap dan hanya memakai celana dalam, pria yang tengah dipijat Bu Marfuah ternayata benar Pak Anwar. Kepala sekolahku yang berkepala botak dan berperut buncit itu tiduran tengkurap di kasur. Ia terlihat sangat menikmati pijatan Bu Marfuah yang duduk di tepi ranjang.

Namun Pak Anwar tak sekedar menikmati pijatan istri almarhum Pak Munib. Tangannya sesekali menggerayang ke bongkahan bokong besar istri almarhum penjaga sekolah itu. Mengelus dan meremas-remas pantat besar Bu Marfuah meski masih adari luar daster yang dipakai wanita itu.

Pantas Bu Marfuah memprotes karena tangan Pak Anwar yang gerayangan.
Bahkan ketika dipijat dalam posisi terlentang, ulah Pak Anwar semakin menjadi. Daster Bu Marfuah disingkapnya lalu tangannya mulai menggerayangi paha wanita itu. Malah sepertinya tangan kepala sekolahku itu juga telah sampai ke organ intim sang wanita pengelola kantin.
Sebab berkali-kali tubuh Bu Marfuah menggerinjal-gerinjal dan berusaha menepis tangan Pak Anwar.

"Bapak gimana sih, janjinya cuma mau dipijat. Kok jadi seperti ini lagi," kata Bu Marfuah ketus.

"Pengin lihat memekmu Ah. Inimu mantep dan enak," kata Pak Anwar sambil mencengkeram dan meremas gemas memek Bu Marfuah.

"Saya kan sudah melayani bapak beberapa kali. Kita tidak boleh seperti ini. Bapak kan juga punya istri," kembali Bu Marfuah mencoba menepis tangan Pak Anwar. Mungkin karena sakit memeknya dicengkeram meski ia tahu Pak Anwar tidak tengah berusaha menyakitinya.

"Istriku ogah-ogahan melayaniku Ah. Ayolah aku sudah pengen banget," ujar Pak Anwar menghiba.

Entah karena nafsunya sudah sampai ke ubun-ubun, penolakan Bu Marfuah tidak membuat Pak Anwar surut langkah. Tanpa terduga, Pak Anwar yang semula tiduran telentang langsung bangkit. Bak gerakan seorang pegulat, ia meraih tubuh Bu Marfuah yang tengah memijat dan langsung menggulingkannya. Saat posisi Bu Marfuah menjadi terlentang dengan kaki terjuntai ke bawah di tepi ranjang, Pak Anwar langsung menindihnya.

Kulihat Pak Anwar melumat bibir Bu Marfuah. Tangannya juga mulai beraksi. Daster motif bunga-bunga yang dipakai wanita itu disingkapnya hingga kedua pahanya menyembul terbuka bahkan terlihat pula memeknya yang gembung menggunduk dan masih tertutup celana dalam warna hitam.
Selanjutnya tangan Pak Anwar terlihat mengusap-usap dan merabai vagina Bu Marfuah.

Awalnya Bu Marfuah masih berusaha berontak. Ia berusaha mendorong dan menolak tubuh Pak Kepsek. Tetapi ketika tangan Pak Anwar telah menyelinap masuk ke balik celana dalam hitam itu dan melakukan sesuatu di sana, perlawanan Bu Marfuah berangsur mengendur. Ia tidak lagi berontak dan tidak berusaha menolak tubuh Pak Anwar.

Bahkan Pak Anwar tak perlu memaksa ketika ia meminta Bu Marfuah melepas daster yang dipakainya. Saat dasternya terlepas, tetek Bu Marfuah yang besar terlihat menggantung. Ia tidak memakai kutang. Putingnya-putingnya juga besar menonjol dengan bagian yang menghitam melingkarinya.

Seperti yang bayi yang seharian tidak disusui, sambil memeluk tubuh Bu
Marfuah yang duduk di tepi ranjang, mulut Pak Anwar langsung nyosor menghisapi salah satu puting tetek wanita itu. Sedangkan teteknya yang lain menjadi sasaran pijatan dan remasan tangan Pak Anwar.

Aku jadi ingat Ny Merry pemeran film BF yang melakukan adegan seks dengan remaja pria. Tetek Ny Merry sepertinya sama ukurannya dengan milik Bu Marfuah. Aku sudah berpuluh kali menontonnya hingga bisa membandingkannya. Berkali-kali aku menelan ludah karena terangsang.
Nafasku memburu dengan mata yang terus menatap lewat lubang dinding kamar rumah dinas
penjaga sekolah itu.

Sambil terus melahap dan mengenyoti tetek Bu Marfuah secara bergantian, Pak Anwar mencoba mengarahkan tangan Bu Marfuah ke kontolnya yang tampak menonjol di balik celana dalam. Namun Bu Marfuah tidak bereaksi. Tangannya hanya mengelus-elus sesaat lalu dilepaskannya kembali. Sampai akhirnya Pak Anwar memelorotkan sendiri celana dalam yang dipakainya. Satu-satunya penutup tubuh yang tersisa.

Tadinya kukira Pak Anwar juga akan melepaskan celana dalam yang dipakai Bu Marfuah. Aku sudah berharap adegan itu segera terjadi. Karena aku sudah ingin melihat langsung memek wanita itu. Bukan cuma mengkira-kira dari bentuknya yang membusung tercetak celana dalam warna hitam.

Tetapi tidak Pak Anwar masih ingin mendapatkan layanan lain dari istri almarhum Pak Munib. Ia naik ke ranjang dan mengangsurkan kontolnya yang berukuran tak terlalu besar meminta untuk dikulum. Hanya, Bu Marfuah mentah-mentah menolaknya. Memegang batangnya pun sepertinya
enggan. "Saya enggak pernah melakukan seperti itu pak. Nggak mau,"

"Ayo kulum saja Ah. Aku pengen sekali dikulum. Kamu kan sudah aku tolong hingga boleh bertempat tinggal terus di sini dan mengelola usaha kantin," bujuk Pak Anwar.

Namun Bu Marfuah tetap kukuh. Wanita berhidung bangir yang malam itu membiarkan rambutnya tergerai tersebut, malah berpaling menunduk. Pak Anwar seperti kehilangan akal karena keinginannya tidak dituruti. Ia turun dari ranjang dan langsung memelorotkan celana dalam Bu Marfuah.

Keinginanku untuk bisa melihat memek Bu Marfuah terpuaskan saat Pak Anwar merentangkan kedua kaki wanita itu. Memek Bu Marfuah ternyata tak berjembut. Sepertinya ia rajin mencukurnya. Tetapi memeknya benar-benar gemuk, besar membusung. Di bagian tengahnya terbelah terlihat berkerut-kerut dan berwarna lebih gelap.

Sempat kulihat itilnya. Bagian yang paling ingin kulaihat dari milik Bu Marfuah. Tetapi hanya sepintas karena tertutup tubuh Pak Amwar yang berdiri di antara paha Bu Marfuah yang mengangkang. Aku berharap Pak Anwar akan menjilati atau bermain-main dulu pada bagian paling merangsang milik wanita itu. Karena kontolku semakin ngaceng.

Ternyata tidak. Tetap dalam posisi berdiri diarahkannya batang kontolnya ke lubang nikmat Bu Marfuah. Dan yang bisa kulihat selanjutnya hanya pantat Pak Anwar yang terlihat maju mundur.

Aku mencari-cari lubang lain di dinding kamar itu. Maksudnya agar bisa mendapatkan posisi mengintip yang memungkinkan melihat memek Bu Marfuah yang tengah disogok-sogok kontol Pak Anwar. Dari sinar yang terpancar keluar, karena di tempat aku mengintip gelap gulita, kulihat sebuah lubang cukup lebar di ujung lain. Aku langsung beringsut perlahan mendekati ubang itu.

Dari posisiku mengintip kali ini, memang cukup strategis. Aku bisa melihat sebagian memek Bu Marfuah yang tengah dicolok-colok oleh Pak Anwar dengan kontolnya. Ia terlihat sangat menikmati apa yang yang sedang dilakukannya yakni menyetubuhi istri almarhum bawahannya. Berkali-kali ia mendesah dan nafasnya terdengar memburu.Sementara Bu Marfuah yang terlentang dengan tetek yang terlihat terguncang-guncang akibat sodokan Pak Anwar, sepertinya juga mulai ikut menikmati.

Kudengar ia mulai merintih-rintih perlahan. Hanya sayang, Pak Anwar keburu menyudahi permainan panas itu. Dengan wajah dan tubuh dibanjiri peluh, terlihat ia mempercepat sodokannya. Kulihat ia mengejang sambil memekik tertahan dan akhirnya ambruk menindih tubuh lawan mainnya.

Aku kecewa karena tidak bisa melihat adegan persetubuhan secara live itu lebih lama. Namun agaknya bukan aku saja yang kecewa. Saat mendorong ke samping tubuh Pak Anwar agak tidak menindihnya, wajah Bu Marfuah juga terlihat kesal. Mungkin karena ia tidak mendapat kenikmatan seperti yang baru direguk Pak Anwar.

Dengan wajah lesu Bu Marfuah bangkit dan berdiri. Tanpa menutup tubuh, diambilnya sesuatu dari meja rias. Sepertinya kertas tisue. Lalu, dengan satu kaki ditopangkan di tepi ranjang, beberapa lembar tisue yang diambil dipakainya untuk mengelap memeknya. Membersihkan air mani Pak Anwar yang mengotori vaginanya.

Pemandangan itu sedikit mengobati kekecewaanku. Sebab posisi Bu Marfuah persis menghadap ke arah tempat aku mengintip dan jaraknya cukup dekat. Tanpa berkedip kutatapi memek tembem Bu Marfuah yang besar membusung. Itilnya bener-bener gede. Aku bisa melihatnya dengan jelas
karena berkali-kali Bu Marfuah mengorek lubang memeknya menggunakan tangannya yang dibalut lembaran kertas tisue. Bagian dalamnya memeknya berwarna merah muda, kontras dengan bagian bibir bagian luar vaginaya yang hitam kebiruan dan berkerut-kerut menebal.

Kontolku makin mengeras dan tegak mengacung sampai terasa sakit karena aku memakai celana jins ketat. Ingin rasanya menyentuh, membelai dan bahkan menjilati memek Bu Marfuah. Seperti yang dilakukan remaja pria pada Ny Merry dalam adegan film porno yang menjadi favoritku. Melihat buah dadanya yang besar menggelantung bak buah pepaya, pasti nikmat rasanya bila aku bisa meremas dan menetek di putingnya.

Setelah dianggap cukup bersih dari lendir yang meleleh di memeknya, diambilnya kain panjang yang tersampir di kursi dekat meja rias di kamarnya. Dipakainya untuk membalut diri dan menutup tubuh. Aku yang seperti terhipnotis oleh kemontokan tubuh Bu Marfuah tetap dalam posisiku hingga wanita itu ke luar dari kamarnya. Saat itu aku baru sadar bahwa Bu Marfuah
hendak kamar mandi karena ia membawa pula handuk. Padahal letak kamar mandi berada tak jauh dari ruang kantin.

Secepatnya aku berusaha keluar dari ruang kantin. Tetapi terlambat. Lampu ruang kantin keburu dinyalakan dan aku nyaris bertabrakan dengan Bu Marfuah. "Heeii.... kok kamu di sini Ton (oh ya namaku Anton). Mau apa malam-malam ke sini?," kata Bu Marfuah terkaget-kaget. Ia meneliti ke sekitar ruang kantin. Mencari-cari mungkin dikiran aku tidak sendiri.

"Kamu sendiri?" katanya lagi sambil memegangi dan mengencangkan kain panjangnya yang agak merosot karena dibelitkan begitu saja.

Akhirnya kuceritakan bahwa maksud kedatanganku adalah untuk mengambil laptop yang tertinggal di kamarnya. Kukatakan laptop itu milik kakakku dan malam ini akan dipakai mengerjakan tugas kuliah yang tidak bisa ditunda hingga terpaksa malam-malam harus kuambil.

"Berarti sudah lama kamu di sini?," ujar Bu Marfuah menyelidik. Aku mengangguk dan jawabanku membuat kening Bu Marfuah berkerut.

Saat Bu Marfuah berniat menginterogasiku lebih jauh, muncul Pak Anwar. Ia telah berpakaian tetapi kancing-kancing bajunya belum terpasang seluruhnya. Mungkin karena tergesa-gesa mendengar adanya orang di ruang kantin. "Eee.. aa anu Pak Anwar ini Anton, murid kelas tiga. Ia mau mengambil laptopnya yang tertinggal di tempat saya tadi siang," kata Bu Marfuah.

Tahu aku menyelundup masuk kompleks sekolah malam-malam dengan memanjat dinding, Pak Anwar yang memang dikenal galak langsung marah-marah. Bahkan menurutnya, mengambil laptop hanya sekedar alasan. Dan yang membuat aku tidak terima, ia juga menuduhku hendak mencuri. "Kamu
pasti mau mencuri di sekolah ini hingga untuk masuk saja sampai memanjat tembok. Sudah Bu Marfuah kulaporkan saja ke polisi. Biar diurus petugas polisi," katanya berang sambil mengeluarkan telefon selulernya dan bermaksud memencet nomor tertentu yang hendak dihubunginya.

Panik karena hendak dilaporkan ke polisi dan jengkel karena dituduh hendak mencuri, tiba-tiba timbul keberanian dan terlontar ucapanku yang membuat kaget Pak Anwar. "Silahkan telepon polisi dan laporkan saya. Saya juga akan melaporkan bapak. Saya sudah melihat semuanya yang dilakukan bapak di kamar Bu Kantin," kataku ketus. Entah timbul dari mana
keberanianku itu.

Ucapanku membuat Pak Anwar terbungkam. Bu Marfuah juga terlihat bingung dan memegang erat-erat kain panjangnya yang kembali melorot. Baru setelah terdiam beberapa saat, Pak Anwar berubah melunak. Ia meminta Bu Marfuah meneruskan ke kamar mandi dan mengajakku masuk
ke ruang tamu rumah dinas penjaga sekolah.

"Tolonglah Ton, bapak sebentar lagi pensiun. Nama sekolah ini juga bisa cemar bila ceritakan kejadian ini kepada orang lain. Kamu mau kan?" kata Pak Anwar membujuk.Jengkel karena dituduh mau mencuri, aku diam tetapi tidak mengiyakan. Hanya kupandangi wajah Pak Anwar yang kembali berkeringat dengan sinis.

Nampaknya, sikapku yang tetap menantang membuat dia semakin grogi. Ia menyatakan akan memberiku sejumlah uang bila aku mau tutup mulut. Sampai akhirnya, karena Bu Marfuah keburu datang, Pak Anwar memberi sinyal. "Besok kamu masuk saja ke kantor saat jam istirahat kedua. Ada sesuatu yang akan bapak berikan," kata Pak Anwar berbisik.

Aku diperbolehkan pulang setelah menyatakan kesanggupanku untuk tutup mulut. Setelah menerima laptop kakakku dari Bu Marfuah aku ke luar kompleks sekolah diantar Pak Anwar. Kali ini aku keluar lewat pintu belakang yang kuncinya dibukakan Bu Marfuah. Aku benar-benar lega sekaligus puas. Lega bisa mengambil laptop kakaku, juga puas karena bisa menekan Pak Anwar kepala sekolah yang dikenal galak. Dan yang membuatku lebih puas, karena bisa melihat memek Bu Marfuah yang merangsang. Malam ini akan mengocok sambil membayangkan memek Bu Marfuah yang menggairahkanku, ujarku membathin dalam perjalanan pulang di atas sadel sepeda
motorku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar